Kisah Sukses Pengusaha – Sunny Kamengmau

Sukses menjadi seorang pengusaha adalah hak bagi siapa saja yang bekerja keras dan pantang menyerah. Apapun latar belakangnya, ketika memiliki kemauan keras untuk maju dan berkembang, maka kesuksesan akan semakin dekat pada Anda.

[pe2-image src=”https://lh3.googleusercontent.com/-9Bkj_bDlHug/V0PGskX3GGI/AAAAAAAADpg/LyOJPSodMhYTefSj0Xpf7OQ7ybnaMb2cQCHM/s144-c-o/f29fa750-25de-43c4-9816-b5be83f3281f” href=”https://picasaweb.google.com/109747433625033323554/6288087976823758545#6288087973719644258″ caption=”f29fa750-25de-43c4-9816-b5be83f3281f” type=”image” alt=”f29fa750-25de-43c4-9816-b5be83f3281f” pe2_single_image_size=”w500″ pe2_img_align=”center” ]

Robita adalah merek tas yang populer di antara sosialita Jepang. Merek ini termasuk ke dalam jajaran produk fashion yang berkelas di negeri Matahari Terbit itu. Tapi tahukah anda bahwa tas ini dibuat di Indonesia dan pengusahanya seorang bekas tukang kebun hotel di Bali. Sunny Kamengmau namanya. Pria asal Nusa Tenggara Timur itu bilang, “ramuan suksesnya adalah keberanian dan kerja keras”. Ramuan itu membuat Sunny menjadi salah satu aktor utama di balik popularitas Robita di Jepang. Sunny Kamengmau sudah membukitakannya, meskipun dengan latar belakang yang bisa dikatakan terpuruk, namun dengan kemauan keras ia berhasil mendapatkan kesuksesan dalam berbisnis. Meski hanya berbekal ijazah SMP, pria asal Nusa Tenggara Timur itu sukses membuat tas kulit yang sangat populer di kalangan sosialita di Jepang. Ia yang dulunya hanya seorang tukang kebun yang bekerja di sebuah hotel di Bali.

Keluwesannya bergaul membuat Sunny berkenalan dan berteman dengan seorang bos konfeksi asal Jepang, Nobuyuki Kakizaki. Pemilik perusahaan Real Point Inc. ini kemudian mengajaknya berbisnis tas kulit buatan tangan. “Orang Jepang itu sangat menyukai produk handmade, itu sebabnya tas Robita sangat disukai di sana,” kata Sunny. Dia mengawali kisahnya dari Kupang, NTT, pada 1994. Saat itu usianya baru 18 tahun. “Saat itu saya lari dari rumah dan tidak menyelesaikan pendidikan SMA,” kata Sunny, mengawali pembicaraan. Pelariannya membawa Sunny ke Kuta, Bali. Di sebuah hotel bernama Un’s Hotel, dia diterima sebagai tukang kebun.

Dalam waktu setahun dia ‘naik pangkat’ menjadi satpam. Profesi ini dijalani selama empat tahun. Setelah itu sebuah peluang baik datang. Tapi kedatangannya tak seperti durian runtuh.

Selama bekerja di Un’s Hotel, Sunny getol belajar bahasa Inggris dan Jepang supaya bisa bergaul dengan para tamu. Begitu teguh niatnya, sampai-sampai gaji pertama sebagai tukang kebun, Rp 50 ribu, sebagian dibelikannya kamus bahasa Inggris.

Sunny bilang, para tamu dan keluarga pemilik Un’s Hotel adalah guru bahasanya. Kombinasi antara kemauan belajar dan sikap yang baik membuatnya bergaul akrab dengan majikan dan tamu. “Antara saya dan keluarga bos, terutama anaknya Marlon ini, seperti tidak ada jarak,” ujar Sunny.

Marlon, nama yang disebut Sunny, kebetulan ikut menemani sesi wawancara petang itu. Meski ayahnya memiliki hotel besar, lelaki yang satu ini memilih menjadi peselancar profesional di Bali. Mendengar penuturan Sunny, Marlon mengangguk membenarkan sambil tersenyum.

Kemampuannya berbahasa Jepang mempertemukan Sunny dengan seorang tamu bernama Nobuyuki Kakizaki pada 1995. Lima tahun mereka berteman sebelum akhirnya pengusaha konveksi asal Jepang itu menawari Sunny sebuah pekerjaan baru: memasok tas kulit.

Kakizaki dan perusahaannya, Real Point Inc., rupanya mengincar bisnis baru di Jepang. Pada 2000 Sunny memutuskan keluar dari pekerjaannya sebagai satpam dan mulai menggeluti bisnis pembuatan tas kulit itu.

Prosesnya ternyata tak semudah yang dibayangkan. Sunny mengakui berkali-kali produk yang dibuatnya gagal. Pesanan pun nihil. Dia bahkan nyaris ditinggalkan oleh satu-satunya tenaga pembuat tas yang direkrutnya, lantaran tak ada pemasukan sama sekali.
Meskipun berulangkali gagal, dengan tekad yang bulat membuat Sunny tak mau mundur barang sejengkal. Dengan tekad dan keyakinan yang luar biasa, lambat laun akhirnya tas yang ia buat bisa diterima oleh orang Jepang tersebut. Pesanan pun mulai datang, meski pada awalnya masih sangat minim. Pada tahun 2003 Sunny mampu memproduksi 100-200 tas perbulan yang ia kirim ke Jepang.
Pada tahun 2006 tas Robita yang digawangi Sunny, mampu menyuplai kebutuhan pasar di Jepang sampai 5000 tas perbulannya. Tas merek Robita sendiri bukanlah tas murahan di Jepang, tas ini termasuk yang digemari bagi kalanagan sosialita. Harga yang ditawarkan kisaran Rp 2 juta sampai Rp 4 juta. Jika dihitung secara kasar, dengan harga minimal per biji adalah Rp 2 juta, maka tas Robita mampu meraup Rp 10 miliar tiap bulannya.

Sunny Kamengmau, pengusaha tas Jepang asal Indonesia, ternyata mempunyai ambisi tersimpan. Dia ingin membangun ‘kerajaan’ tas sendiri di tanah air.

Sunny bilang dirinya sudah sudah mendirikan sebuah butik Robita di Seminyak, Bali. Butik ini dibuka pada pekan lalu. Niatnya mendirikan dua butik lagi di Nusa Dua dan Ubud.

Alih-alih membikin merek sendiri, Sunny tetap akan memakai merek Robita, meski di Indonesia merek ini belum sepopuler Jepang. Dia bilang, Nobuyuki Kakizaki dari Real Point Inc. sudah memberikannya restu untuk tetap memakai merek itu. Dia pun setuju sebagai tanda balas budi dan pertemanan.

Tas Robita bukanlah tas pasaran. Di Jepang, harga tas ini terentang antara Rp 2 juta sampai Rp 4 juta. Kalau melihat websitenya, untuk saat ini ada beberapa model Robita yang ditonjolkan, antara lain Anyamnya Robita dan Robita Warna.

Nilai bisnis Robita sendiri, kata Sunny, mencapai lebih dari US$ 10 juta. “Dulu waktu Kakizaki sakit, ada orang yang menawar perusahaannya senilai US$ 10 juta itu,” ujar Sunny, menjelaskan.

Tapi tak seperti di Jepang, harga tas Robita di tanah air bakal sedikit lebih rendah. Rencananya akan dibanderol mulai Rp 1.500.000. “Kualitas tetap saya jaga,” kata Sunny, kepada detikFinance di Denpasar, Bali, Selasa (18/3/2014).

Untuk itu, Sunny mengimpor mesin dari luar negeri. Benang diimpor dari Jerman. Sedangkan aksesoris diimpor dari Jepang. Dia bilang, pengalaman membuat dan memasok tas Robita selama 14 tahun melahirkan kepercayaan diri untuk berjualan sendiri di Bali.

Modal bisnis di Bali ini 100 persen dari dompet seorang Sunny. Dia bilang butiknya di Seminyak betul-betul didesain dengan kualitas tinggi. Dia berani merogoh lebih dari Rp 100 juta hanya untuk membangun interior seluas 30 meter persegi.

Pendirian butik atau toko di Bali ini adalah obsesi lain Sunny yang ingin mengembangkan usahanya, tak sekadar menjadi pemasok tapi juga menjual sendiri untuk pasar Indonesia. Dia bilang, Bali adalah test market. Kalau sukses, dia akan membidik Jakarta.

“Targetnya tahun depan,” kata ayah seorang putra ini.

Bisnis pembuatan tas, kata Sunny, selalu menggairahkannya. Soalnya setiap saat dirinya dituntut untuk memikirkan model-model yang baru untuk penyuka Robita.

Di bagian akhir wawancara itu, Sunny bertutur bahwa dirinya selalu merasa sebagai orang yang beruntung. Dia beruntung berkesempatan bertemu dengan orang-orang yang telah mengubah hidupnya. Karena itu dia tak mau menjadi seperti kacang yang lupa pada kulitnya.

“Kalau saya ke Un’s Hotel, saya bertemu dengan teman-teman saya dan bos saya dulu, kami tetap berteman seperti dulu, bahkan kamar saya yang dulu masih tetap ada termasuk stiker-stiker yang pernah saya tempel,” ujar Sunny, yang juga berinvestasi di sebuah hotel bintang 5 di Bali, itu.

Leave a Reply